<![endif]-->
“HUBUNGAN KEWAJIBAN E-PURCHASING PADA K/L/D/I DENGAN
KEWENANGAN PA/KPA DAN PPK”
Sebelum
berbicara mengenai kewajiban e-Purchasing
pada K/L/D/I sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu “e-Purchasing” berdasarkan Peraturan
Kepala LKPP Nomor 14 Tahun 2015. E-Purchasing
adalah tata cara pembelian Barang/Jasa melalui sistem katalog elektronik. Katalog
Elektronik adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis,
spesifikasi teknis dan harga Barang/Jasa tertentu dari berbagai Penyedia
Barang/Jasa Pemerintah. Dasar pencantuman barang/jasa dalam katalog Elektronik
(e-Catalogue) adalah Kontrak Katalog antara
Kepala LKPP dengan Penyedia Barang/Jasa (Katalog Nasional) atau Penyedia
Barang/Jasa kepada Kepala Daerah/Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah
(Katalog Lokal). e-Purchasing
dilaksanakan melalui aplikasi e-Purchasing
pada SPSE yang dikembangkan dan dikelola oleh LKPP. Aplikasi e-Purchasing adalah aplikasi perangkat
lunak Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) berbasis web yang terpasang di
server Layanan Pengadaan Secara Elektronik yang dapat diakses melalui website
Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Para pihak yang berhak melakukan transaksi
pada e-purchasing berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dan
perubahan terakhirnya Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 (Perubahan Keempat)
Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pasal 110 ayat 5 “E-Purchasing dilaksanakan oleh Pejabat Pengadaan/PPK atau pejabat
yang ditetapkan oleh Pimpinan Instansi/Institusi”. Dalam Perka LKPP pejabat
yang bertugas untuk melakukan pemesanan barang/jasa dalam e-Purchasing adalah Pejabat
Pemesan (PPK, Pejabat Pengadaan atau Pejabat yang ditetapkan oleh Pimpinan Instansi/Institusi).
Pada
Perpres, K/L/D/I diwajibkan melakukan pengadaan barang/jasa e-Purchasing sesuai pasal 110 ayat 4 dan
Surat Edaran Kepala LKPP Nomor 3 Tahun 2015 point 1. Kewajiban dalam
e-Purchasing sering menjadi perdebatan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Contohnya dalam satu paket pekerjaan ada beberapa item barang yang tercantum di
e-Catalogue dan sebagian besar tercantum di e-Catalogue. Hal ini akhirnya
menyebabkan terjadinya permasalahan dalam penetapan pembelian melalui
e-Purchasing. Selain itu dalam Perpres dan SE LKPP tidak dijelaskan pihak
manakah dalam K/L/D/I yang wajib menetapkan pembelian melalui e-Purchasing.
Untuk mengurai permasalahan tersebut, saya mencoba melihat dari tugas dan
kewenangan masing-masing pihak dalam K/L/D/I yang ada dalam organisasi
pengadaan yaitu PA/KPA dan PPK.
1. Hubungan
Kewenangan PA/KPA dengan Kewajiban e-Purchasing. Pada pasal 8 ayat 1 huruf a
PA/KPA memiliki kewenangan dalam
menetapkan Rencana Umum Pengadaan (RUP). Dalam penetapan RUP ada
beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh PA/KPA berdasarkan Perpres pasal 22
ayat 3 yaitu kegiatan identifikasi kebutuhan, menyusun dan menetapkan rencana
anggaran biaya, menetapkan kebijakan umum pengadaan, menyusun Kerangka Acuan
Kerja (KAK). Kewajiban pengadaan barang/jasa
melalui e-Purchasing pada PA/KPA
dapat dilaksanakan pada tahap kegiatan identifikasi kebutuhan. Dalam
identifikasi kebutuhan, PA/KPA melakukan kegiatan analisa pasar melalui
identifikasi ketersediaan barang serta jumlah penyedia yang tersedia di pasar
dan identifikasi paket-paket pekerjaan sesuai dengan volume dan spesifikasi
barang/jasa ada dalam rencana kebutuhan barang/jasa K/L/D/I. PA/KPA melakukan
analisa pasar dengan membentuk tim survei dan tim analisis data pasar. Analisis
pasar dapat melibatkan tim teknis, bagian perencanaan, bagian keuangan,
pengguna akhir, PPK dan ULP. Dengan kewajiban e-Purchasing maka dalam analisa pasar maka PA/KPA dibantu dengan
tim untuk memprioritaskan pemilihan barang/jasa yang telah tercantum pada e-Catalogue sehingga pemaketan pekerjaan-pekerjaan
dan penetapan RUP sudah mengarah pada kebijakan pengadaan barang/jasa melalui e-Purchasing.
2. Hubungan
Kewenangan PPK dengan Kewajiban e-Purchasing. PPK dalam persiapan pemilihan
Penyedia Barang/Jasa memiliki kewenangan untuk melakukan pengkajian ulang paket
pekerjaan pada RUP sesuai pasal 33 dan 34. PPK dapat mengundang ULP/Pejabat
Pengadaan dan tim teknis untuk melakukan pengkajian ulang (pembahasan) terhadap
rencana umum pengadaan. Kaji ulang yang dilakukan PPK salah satunya adalah
kebijakan umum pada RUP. Dalam kaji ulang kebijakan umum, PPK hanya melakukan
pengkajian ulang terhadap pemaketan pekerjaan. PPK mengkaji ulang pemaketan
pekerjaan untuk meneliti dan memastikan apakah pemaketan yang ditetapkan oleh
PA/KPA selain telah mendorong persaingan sehat, efisien, meningkatkan peran
Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi Kecil, dan penggunaan produksi dalam
negeri. Dengan kewajiban pengadaan barang/jasa melalui e-Purchasing maka PPK juga memastikan pemaketan pekerjaan telah
diarahkan oleh PA/KPA untuk pengadaan barang/jasa melalui e-Purchasing. Apabila ditemukan paket pekerjaan yang dalam pada
saat pengkajian ulang terdapat item barang/jasa yang baru tercantum atau dalam
proses pencantuman dalam e-Catalogue.
Maka sesuai dengan kewenangan PPK pada kaji ulang sesuai pasal 34 ayat 4 huruf
a, PPK mengusulkan perubahan paket pekerjaan kepada PA/KPA. Pertimbangan PPK
didasarkan pada pasal 34 ayat 3 huruf c yaitu mempertimbangkan jenis, sifat dan nilai
Barang/Jasa serta jumlah Penyedia Barang/Jasa yang ada dalam hal ini salah
satunya adalah barang/jasa yang tercantum atau dalam proses pencantuman dalam e-Catalogue.
Tetapi
untuk beberapa hal tertentu PA/KPA dan PPK dapat mengabaikan kewajiban pembelian
melalui e-Purchasing sesuai dengan Surat
Edaran Kepala LKPP Nomor 3 Tahun 2015 point 2 yaitu :
a. Barang/Jasa belum tercantum
dalam e-Catalogue;
b. Spesifikasi teknis barang/jasa
yang tercantum pada e-Catalogue tidak
sesuai dengan spesifikasi teknis yang dibutuhkan oleh K/L/D/I;
c. Penyedia barang/jasa tidak
menanggapi pesanan sedangkan kebutuhan terhadap barang/jasa tersebut mendesak
dan tidak dapat ditunda lagi;
d. Penyedia barang/jasa tidak
mampu menyediakan barang baik sebagian maupun keseluruhan dalam jangka waktu
yang ditentukan dalam rencana pelaksanaan pengadaan barang/jasa karena
kelangkaan ketersediaan barang (stock);
e. Penyedia barang/jasa tidak
mampu melayani pemesanan barang/jasa karena keterbatasan jangkauan layanan
penyedia barang/jasa;
f. Penyedia barang/jasa tidak
dapat menyediakan barang/jasa sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan
setelah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)/Pejabat yang ditetapkan oleh Pimpinan
Institusi menyetujui pesanan barang/jasa;
g. Penyedia barang/jasa dikenakan
sanksi administratif berupa penghentian sementara dalam sistem transaksi e-Purchasing; dan/atau
h. Harga Katalog Elektronik pada
komoditas online shop dan hasil negosiasi harga barang/jasa melalui e-Purchasing untuk komoditas online shop
pada periode penjualan, jumlah, merek, tempat, spesifikasi teknis,dan persyaratan
yang sama, lebih mahal dari harga barang/jasa yang diadakan selain melalui e-Purchasing.
Dimana,
ketentuan huruf c sampai dengan huruf h berlaku jika dalam satu komoditas
dan/atau spesifikasi barang/jasa hanya terdapat satu penyedia barang/jasa yang
terdaftar di dalam e-Catalogue.
Kesimpulan :
1. Kewajiban pembelian e-Purchasing pada K/L/D/I adalah
kewenangan pada PA/KPA dan PPK.
2. PA/KPA berkewajiban menetapkan
sebanyak-banyaknya item barang/jasa yang ada dalam e-Catalogue sesuai kebutuhan K/L/D/I dalam tahap idenfikasi
kebutuhan dalam RUP dan pemaketan pekerjaan-pekerjaan.
3. PPK berkewajiban melakukan kaji
ulang pemaketan pekerjaan dengan meneliti serta memastikan item barang/jasa pada
paket pekerjaan yang ditetapkan PA/KPA sudah
sesuai dengan kewajiban K/L/D/I dalam e-Purchasing.
Dasar Hukum/Aturan :
1. Peraturan Presiden Nomor 4
Tahun 2015 (Perubahan Keempat) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah.
2. Peraturan Kepala LKPP Nomor 14 Tahun
2015 tentang e-Purchasing.
3. Surat Edaran Kepala LKPP Nomor
3 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui E-Purchasing.
0 comments:
Post a Comment